BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Masalah
Sesuai dengan Pasal 31 Undang Undang Dasar 1945 dan
amandemen tertulis dan tercantum bahwa Setiap warga negara berhak mendapat
pendidikan dan setiap warga negara wajib mengikuti pendidikan dasar dan
pemerintah wajib membiayainya. Ini membuktikan bahwa tanggung jawab pemerintah
atau negara sangatlah besar, karena mereka pun bertanggung jawab atas kemajuan
bangsa ini.
Kualitas pendidikan di Indonesia saat ini sangat
memprihatinkan. Ini dibuktikan antara lain dengan data UNESCO (2000) tentang
peringkat Indeks Pengembangan Manusia (Human Development Index), yaitu komposisi
dari peringkat pencapaian pendidikan, kesehatan, dan penghasilan per kepala
yang menunjukkan, bahwa indeks pengembangan manusia Indonesia makin menurun. Di
antara 174 negara di dunia, Indonesia menempati urutan ke-102 (1996), ke 99
(1997), ke-105 (1998), dan ke-109 (1999). Menurut survei Political and Economic
Risk Consultant (PERC), kualitas pendidikan di Indonesia berada pada urutan
ke-12 dari 12 negara di Asia. Posisi Indonesia berada di bawah Vietnam. Data
yang dilaporkan The World Economic Forum Swedia (2000), Indonesia memiliki daya
saing yang rendah, yaitu hanya menduduki urutan ke-37 dari 57 negara yang
disurvei di dunia. Dan masih menurut survai dari lembaga yang sama Indonesia
hanya berpredikat sebagai follower bukan sebagai pemimpin teknologi dari 53
negara di dunia.
Memasuki abad ke- 21 dunia pendidikan di Indonesia
menjadi heboh. Kehebohan tersebut bukan disebabkan oleh kehebatan mutu
pendidikan nasional tetapi lebih banyak disebabkan karena kesadaran akan bahaya
keterbelakangan pendidikan di Indonesia. Perasan ini disebabkan karena beberapa
hal yang mendasar. Salah satunya adalah memasuki abad ke- 21 gelombang
globalisasi dirasakan kuat dan terbuka. Kemajaun teknologi dan perubahan yang
terjadi memberikan kesadaran baru bahwa Indonesia tidak lagi berdiri sendiri.
Indonesia berada di tengah-tengah dunia yang baru, dunia terbuka sehingga orang
bebas membandingkan kehidupan dengan negara lain.
Apakah dengan amandemen Pasal 31 UUD 1945 sampai
empat kali mampu memperbaiki pendidikan di Indonesia?
B.
Tujuan Penulisan
Tulisan ini bertujuan untuk melihat hak dan
kewajiban negara dalam Pasal 31 UUD 1945, menyoroti pendidikan di Indonesia,
dan melihat dampak amandemen Pasal 31 UUD 1945 terhadap perkembangan pendidikan
di Indonesia.
BAB II
PEMBAHASAN
Setiap negara
atau bangsa selalu menyelenggarakan pendidikan demi cita-cita nasional bangsa
yang bersangkutan. Cita-cita bangsa Indonesia dalam pendidikan tertuang dalam
Pembukaan UUD 1945 dan Pasal 31 UUD 1945. Kalau kita bicara tentang
undang-undang pendidikan mestinya kita melihat dasarnya. Kalau era reformasi
,sebagai dasarnya adalah hasil amandemen UUD 1945 ke IV (empat). Hasil
amandemen UUD 1945 Ke IV ( tahun 2002) yaitu tentang pendidikan.
A. Pasal 31 UUD 1945 dan
Amandemen
- Ayat 1 : Setiap warga negara berhak mendapatkan pendidikan ***
- Ayat 2 : Setiap warga negara wajib mengikuti pendidikan dasar dan pemerintah wajib membiayainya***
- Ayat 3 : Pemerintah mengusahakan dan menyelenggarakan satu sistem pendidikan nasional,yang meningkatkan keimanan dan ketakwaan serta akhlak mulia dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa ,yang diatur dengan undang-undang ****
- Ayat 4 : Negara memprioritaskan anggaran pendidikan sekurang kurangnya 20 % dari anggaran pendapatan dan belanja negara serta dari anggaran pendapatan dan belanja daerah untuk memenuhi kebutuhan penyelenggaraan nasional ****
- Ayat 5 : Pemerintah memajukan ilmu pengetahuan dan teknologi dengan menjunjung tinggi nilai nilai agama dan persatuan bangsa untuk kemajuan peradapan kesejahteraan umat manusia ****
B.
Gambaran Pendidikan di Indonesia
Cara
melaksanakan pendidikan di Indonesia sudah tentu tidak terlepas dari tujuan
pendidikan di Indonesia, sebab pendidikan Indonesia yang dimaksud di sini ialah
pendidikan yang dilakukan di bumi Indonesia untuk kepentingan bangsa Indonesia.
Aspek ketuhanan sudah dikembangkan dengan banyak cara seperti melalui pendidikan-pendidikan agama di sekolah maupun di perguruan tinggi, melalui ceramah-ceramah agama di masyarakat, melalui kehidupan beragama di asrama-asrama, lewat mimbar-mimbar agama dan ketuhanan di televisi, melalui radio, surat kabar dan sebagainya. Bahan-bahan yang diserap melalui media itu akan berintegrasi dalam rohani para siswa/mahasiswa.
Pengembangan pikiran sebagian besar dilakukan di sekolah-sekolah atau perguruan-perguruan tinggi melalui bidang studi-bidang studi yang mereka pelajari. Pikiran para siswa/mahasiswa diasah melalui pemecahan soal-soal, pemecahan berbagai masalah, menganalisis sesuatu serta menyimpulkannya.
Aspek ketuhanan sudah dikembangkan dengan banyak cara seperti melalui pendidikan-pendidikan agama di sekolah maupun di perguruan tinggi, melalui ceramah-ceramah agama di masyarakat, melalui kehidupan beragama di asrama-asrama, lewat mimbar-mimbar agama dan ketuhanan di televisi, melalui radio, surat kabar dan sebagainya. Bahan-bahan yang diserap melalui media itu akan berintegrasi dalam rohani para siswa/mahasiswa.
Pengembangan pikiran sebagian besar dilakukan di sekolah-sekolah atau perguruan-perguruan tinggi melalui bidang studi-bidang studi yang mereka pelajari. Pikiran para siswa/mahasiswa diasah melalui pemecahan soal-soal, pemecahan berbagai masalah, menganalisis sesuatu serta menyimpulkannya.
Proses pendidikan
yang diselenggarakan dan dilaksanakan suatu bangsa dalam upaya menumbuhkan dan
mengembangkan watak atau kepribadian bangsa, memajukan kehidupan bangsa dalam
berbagai bidang kehidupannya, serta mencapai tujuan nasional bangsa
yangbersangkutan, itulah yang disebut dengan sistem pendidikan nasional.
Pendidikan selalu berubah dan berkembang secara progresif. Pendidikan juga bisa
dikatakan sebagai suatu sistem. Dalam pengertian umum, yang dimaksud dengan
sistem adalah suatu kesatuan utuh yang saling terkait dari bagian-bagiannya
untuk mencapai hasil yang diharapkan berdasarkan kebutuhan yang telah
ditentukan. Secara teoritis suatu sistem pendidikan terdiri dari
komponen-komponen atau bagian-bagian yang menjadi inti dari proses pendidikan.
Penyebab
rendahnya mutu pendidikan di Indonesia antara lain adalah masalah efektifitas,
efisiensi dan standardisasi pengajaran. Hal tersebut masih menjadi masalah
pendidikan di Indonesia pada umumnya. Adapun permasalahan khusus dalam dunia
pendidikan yaitu:
- Rendahnya sarana fisik
- Rendahnya kualitas guru
- Rendahnya kesejahteraan guru
- Rendahnya prestasi siswa
- Rendahnya kesempatan pemerataan pendidikan
- Rendahnya relevansi pendidikan dengan kebutuhan
- Mahalnya biaya pendidikan.
Pemerintah
memaparkan beberapa langkah yang akan dilakukan dalam rangka meningkatkan
kualitas pendidikan di Indonesia, antara lain yaitu:
- Langkah pertama yang akan dilakukan pemerintah, yakni meningkatkan akses terhadap masyarakat untuk bisa menikmati pendidikan di Indonesia.Tolak ukurnya dari angka partisipasi.
- Langkah kedua, menghilangkan ketidakmerataan dalam akses pendidikan, seperti ketidakmerataan di desa dan kota, serta jender.
- Langkah ketiga, meningkatkan mutu pendidikan dengan meningkatkan kualifikasi guru dan dosen, serta meningkatkan nilai rata-rata kelulusan dalam ujian nasional. Langkah keempat, pemerintah akan menambah jumlah jenis pendidikan di bidang kompetensi atau profesi sekolah kejuruan. Untuk menyiapkan tenaga siap pakai yang dibutuhkan.
- Langkah kelima, pemerintah berencana membangun infrastruktur seperti menambah jumlah komputer dan perpustakaan di sekolah-sekolah.
- Langkah keenam, pemerintah juga meningkatkan anggaran pendidikan. Untuk tahun ini dianggarkan Rp 44 triliun.
- Langkah ketujuh, adalah penggunaan teknologi informasi dalam aplikasi pendidikan.
- Langkah terakhir, pembiayaan bagi masyarakat miskin untuk bisa menikmati fasilitas pendidikan.
C.
Pengaruh Pasal 33 UUD 1945 dan Amandemen terhadap Pendidikan di Indonesia
Tujuan pendidikan nasional tersebut merupakan tujuan
umum yang hendak dicapai oleh semua satuan pendidiknya. Dalam sistem pendidikan
nasional, peserta didiknya adalah semua warga negara. Artinya, semua satuan
pendidikan yang ada harus memberikan kesempatan menjadi peserta didiknya kepada
semua warga negara yang memenuhi persyaratan tertentu sesuai dengan
kekhususannya, tanpa membedakan status sosial, ekonomi, agama, suku bangsa, dan
sebagainya oleh semua satuan pendidikannya.
Hal ini sesuai dengan UUD 1945 Pasal 31 ayat (1)
berbunyi:“Tiap-tiap warga negara berhak mendapat pengajaran”. Pasal 31 ayat (2)
UUD 1945 mengamanatkan kepada Pemerintah Republik Indonesia untuk mengusahakan
dan menyelenggarakan satu sistem pengajaran nasional yang diatur dengan
undang-undang. Akan tetapi pada kenyataanya di negara ini masih banyak
anak-anak usia sekolah yang tidak bisa memenuhi wajib belajar 9 tahun.Secara
garis besar kendala yang menyebabkan itu semua adalah biaya pendidikan di Negara
ini yang masih sangat mahal,sehingga banyak masyarakat kalangan menengah
kebawah yang tidak bisa melanjutkan pendidikannya minimal sampai 9 tahun.
Masyarakat tak perlu pusing lagi memikirkan biaya
pendidikan. Dana yang sebelumnya dialokasikan untuk membayar iuran sekolah
dapat digunakan untuk kebutuhan hidup lain. Dampak positif program BOS
dimanfaatkan sebaik-baiknya oleh Bank Dunia untuk pencitraan baik
eksistensinya. Selaku lembaga yang memberikan pinjaman bagi sebagian pendanaan
BOS, Bank Dunia mendengungkan ke sejumlah negara tentang peran mereka di
Indonesia ihwal pembiayaan langsung ke sekolah yang memangkas segala bentuk
birokrasi dan dapat dinikmati masyarakat.
Amandemen UUD 1945 selama masa reformasi ini
dilakukan sebanyak empat kali. Pada amandemen yang ke-4, MPR mengamandemen
pasal 31 tentang pendidikan. Hasil amandemen yang dilakukan oleh MPR tersebut
memberikan angin segar pada dunia pendidikan yang selama ini kurang mendapat
perhatian dari wakil rakyat yang duduk di DPR/MPR.
Rupanya anggota MPR menyadari bahwa untuk memajukan
bangsa dan mencapai tujuan negara seperti yang termuat dalam pembukaan UUD 1945
hanyalah dapat ditempuh melalui jalur pendidikan. Melalui pendidikan inilah
sumber daya manusia yang berkualitas dihasilkan sehingga diharapkan pada era
global bangsa Indonesia dapat bersaing dengan bangsa lain. Kemudian bagaimana
pelaksanaan, konsekuensi dan implikasi dari hasil amendemen?
Pasal 31 Ayat 1 hasil amandemen “Setiap warga negara
berhak mendapatkan pendidikan.” Menurut penulis pasal ini merupakan hasil
refleksi dan evaluasi dari pelaksanaan pendidikan di Indonesia yang sebelumnya
berorientasi pada aspek kognitif dengan mengabaikan aspek afektif dan
spikomotor. Kata “pengajaran” dalam pasal 31 ayat 1 sebelum diamandemen rupanya
telah mempengaruhi paradigma, sikap, dan tindakan guru dalam mengajar. Guru
lebih menekankan pada aspek kognitif dan mengabaikan aspek afektif yang berisi
sikap, minat, apresiasi dan sistem nilai.
Guru hanya mengembangkan kemampuan otak kanan yang
berpikir linier dan kurang mengembangkan kemampuan otak kiri. Pengabaian aspek
afektif ini sangat merugikan siswa secara individual maupun masyarakat secara
keseluruhan. Akibatnya peserta didik banyak mengetahui pengetahuan baik itu
moral, fisika, ekonomi, maupun matematika namun mereka kurang memiliki sikap
dan sistem nilai secara positif terhadap apa yang mereka ketahui, sehingga
mereka tidak mempraktikannya dalam kehidupan sehari-hari. Kurang
dikembangkannya aspek afektif karena aspek afektif masih sulit digarap secara
operasional, baik dalam merumuskan tujuan maupun dalam melakukan evaluasinya
pada hal aspek afektif ini sangat berpengaruh terhadap perilaku seseorang, jika
seseorang telah memiliki afektif terhadap sesuatu hal maka resiko apapun akan
di tempuh.
Dalam pengertian sekarang, pengajaran (instruction)
lebih mengacu pada pengertian sempit yaitu proses pembelajaran
(teaching-learning process); sedangkan pendidikan (education) mempunyai
pengertian yang jauh lebih luas, meliputi juga pengajaran. Dengan dicantumkannya
kata “ Pendidikan “ dalam pasal 31 ayat 1 hasil amandemen diharapkan dapat
merubah paradigma guru dalam implementasi pengajaran di kelas sehingga terjadi
keseimbangan pengembangan aspek kognitif, afektif dan psikomotor.
Pasal 31 ayat 2 berbunyi “Setiap warga negara wajib
mengikuti pendidikan dasar dan pemerintah wajib membiayainya.” Ayat ini secara
khusus berbicara tentang pendidikan dasar 9 tahun (tingkat SD dan SLTP), bahwa
target yang dikehendaki adalah warga negara yang berpendidikan minimal setingkat
SLTP. Ada dua kata "wajib" dalam ayat ini yang berimplikasi terhadap
pelaksanaan lebih lanjut program wajib belajar. Di antaranya adalah setiap anak
usia pendidikan dasar (6-15 tahun) wajib bersekolah di SD dan SLTP. Karena
sifatnya wajib, bila tidak, semestinya ada sanksi hukum terhadap keluarganya
dan juga bagi anaknya. Sanksi apa yang dikenakan kepada mereka, haruslah jelas.
Tidak boleh lagi ada alasan bahwa seorang anak tidak bersekolah karena ia tidak
ingin bersekolah atau keluarganya tidak mampu membiayainya karena pemerintah
wajib membiayainya.
Diakui bahwa saat ini wajib belajar pendidikan dasar
cukup berhasil, paling tidak secara kuantitatif. Di tingkat SD, angka
partisipasi kasar (APK) yaitu rasio antara jumlah seluruh siswa SD dibandingkan
jumlah anak usia 7-12 tahun telah melebihi 100% (menurut data resmi 110-115%).
Akan tetapi, angka partisipasi murni (APM) yaitu rasio antara jumlah siswa SD
umur 7-15 tahun dibandingkan populasi penduduk umur tersebut sebesar 95%.
Artinya, masih ada sekira 5% anak usia 7-12 tahun yang belum bersekolah yang
jumlahnya sekira 1,2 juta orang, tersebar di seluruh Indonesia. Di SLTP, angka
resmi mencatat APK saat ini telah mencapai 78%.
Dalam ayat 2 ini juga mewajibkan pemerintah untuk
membiayai pendidikan khususnya pada pendidikan dasar. Yang menjadi pertanyaan
biaya apa sajakah yang akan ditanggung oleh pemerintah? Apakah masih akan
terbatas pada tiga jenis biaya (gaji, pengadaan alat dan pemeliharaannya, serta
penyelenggaraan), atau akan meliputi juga uang sekolah yang selama dibayarkan
melalui BP3, biaya ujian-ujian? Atau akan termasuk juga buku-buku pelajaran,
alat-alat tulis, pakaian seragam terutama bagi siswa yang kurang mampu? Perlu
dicatat bahwa kalau hanya iuran BP3 yang ditanggung, itu jumlahnya kecil sekali
dan jelas tidak akan banyak membantu meringankan biaya siswa terutama dari
kalangan tidak mampu.
Berdasarkan penelitian (Balitbangdikbud, 1992; Dedi
Supriadi, 2001) menemukan bahwa komponen iuran BP3 hanya hanya mewakili 6-9%
dari total biaya pendidikan per anak di jenjang SD dan SLTP yang dikeluarkan
oleh keluarga siswa. Beban yang jauh lebih berat yang harus ditanggung oleh
keluarga siswa adalah untuk buku pelajaran, iuran-iuran insdidental, alat-alat
tulis, pakaian seragam, dan kebutuhan esensial sekolah lainnya.
Di samping itu ditemukan bahwa sebagian besar dana
pemerintah hanya mampu memenuhi sebagian dari anggaran rutin sekolah yang
meliputi gaji, biaya perawatan fasilitas, dan penyelenggaraan PBM/KBM. Akan
tetapi, yang lebih mengejutkan ialah, betapa tingginya kontribusi keluarga
terhadap pendidikan. Dalam biaya yang ditanggung oleh pemerintah itu termasuk
gaji guru yang mengambil sekira 80% dan dana-dana lain yang diterima oleh
sekolah dari anggaran pemerintah.
Pasal 31 ayat 3 berbunyi “Pemerintah mengusahakan
dan menyelenggarakan satu sistem pengajaran nasional, yang meningkatkan
keimanan dan ketaqwaan serta aklaq mulia dalam rangka mencerdaskan kehidupan
bangsa yang diatur undang-undang”. Dengan dicantumkannya kata “meningkatkan
keimanan dan ketaqwaan terhadap Tuhan yang Maha Esa, serta aklaq mulia dalam
rangka mencerdaskan kehidupan bangsa.” Hal ini berarti lebih mempertegas,
memperkuat dasar, arah dan tujuan pendidikan nasional kita yang selama ini kata
iman dan taqwa dan seterusnya itu hanyalah dimuat dalam UU sistem pendidikan.
Harapan dan tujuan lebih jauh dengan manusia yang beriman, bertaqwa, dan
bermoral adalah bangsa ini akan dapat mencapai suatu keadilan dan kesejahteraan
bagi seluruh rakyat yang bebas dari korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN).
Pasal 31 ayat 4 “Pemerintah memprioritaskan anggaran
pendidikan sekurang-kurangnya 20 % dari anggaran pendapatan dan belanja negara
serta dari anggaran pendapatan belanja daerah untuk memenuhi kebutuhan
penyelenggaraan pendidikan nasional.” Mencermati pasal 31 ayat 4 ini rupanya
wakil rakyat memiliki kesadaran dan keinginan yang kuat untuk merombak anggaran
pendidikan yang selama ini berkisar antara 3 sampai dengan 7 % menjadi
sedikitnya 20%.
Ada dua hal yang tersirat dalam ayat ini pertama.,
wakil rakyat yang duduk di DPR dan MPR menghendaki agar bangsa dan negara yang
sedang di landa krisis ini cepat bangkit untuk maju dan mencapai tujuan negara
sebagai mana termuat dalam Pembukaan UUD 1945. Kedua, ada rasa kawatir dengan
berlakunya UU No 22 th. 1999 tentang otonomi daerah yang salah satunya
melimpahkan wewenang bidang pendidikan ke daerah. DPR/MPR masih meragukan
apakah mutu pendidikan di daerah nanti lebih baik seperti masa sentralisasi
atau sebaliknya. Dengan dasar dan pertimbangan tersebut agar tidak terjadi
kesenjangan mutu pendidikan antardaerah maka dalam UUD ditetapkan 20 % dari
APBD digunakan untuk kebutuhan penyelenggaraan pendidikan nasional.
Disadari atau tidak, penyebutan anggaran untuk
sektor pendidikan minimal 20% dari RAPBN dan RAPBD itu ada nilai plus minusnya.
Plusnya adalah pemerintah pusat/daerah menjadikan hal ini sebagai pedoman dalam
menyusun anggaran dan DPR-RI/DPRD serta masyarakat bisa menjadikannya sebagai
patokan dalam melakukan pengawasan terhadap kesungguhan pemerintah. Di tingkat
daerah, sekarang banyak pemkab/pemkot yang dengan bangga menyebut angka 20-40%
dari RAPBD-nya untuk pendidikan, tapi sebagian besar anggaran itu digunakan
untuk membayar gaji guru/pegawai berstatus PNS. Kalau untuk gaji guru/pegawai pendidikan
saja sudah mengambil 20% dari RAPBN/RAPBD, lalu masih adakah biaya untuk
pembangunan sarana/prasarana, pemeliharaan, dan penyelenggaraan pendidikan?
Dewasa ini, gaji guru/pegawai pendidikan masih
menjadi tanggung jawab pemerintah pusat yang disalurkan melalui Dana Alokasi
Umum (DAU) yang diturunkan ke provinsi/kabupaten/kota. Otda yang berlaku
sekarang masih mengandalkan sebagian besar pembiayaannya pada subsidi
pemerintah pusat melalui DAU. Hanya daerah tertentu yang memiliki PADS yang
cukup signifikan bagi RAPBD-nya dan sebagian lainnya ditambah lagi dengan
pendapatan dari bagi hasil (UU No. 25/1999).
Ada yang mengusulkan agar perhitungan 20% itu tidak
mencakup komponen anggaran untuk gaji sehingga akan tersedia dana yang cukup
untuk pengembangan program-program pemerataan kesempatan, peningkatan mutu, dan
relevansi pendidikan. Kalau gaji diperhitungkan ke dalam 20% itu, dikhawatirkan
biaya-biaya untuk nongaji bukannya bertambah, malah berkurang dari sebelum ada
amandemen ini. Akan tetapi, tidak memasukkan gaji dalam perhitungan anggaran
pendidikan juga bisa dikatakan "menyalahi" prinsip pembiayaan
pendidikan yang selalu memasukkan gaji sebagai komponen inti dalam pembiayaan
pendidikan. Di situlah letak plus-minus dan dilema pencantuman angka 20% dalam
RAPBN dan kelihatannya hal ini masih akan mengundang perdebatan panjang.
Hal ini belum lagi di tambah tidak konsistenya
pemerintah pusat dan daerah dalam mengimplementasikan pasal 31 ini. Ternyata
sampai sekarang pemerintah pusat maupun pemprop/pemkab/pemkot termasuk
Kalimantan Timur belum dapat merealisasikan amanat UUD itu. Memang ada sebagian
pemkot/pemkab di kaltim yang telah mengalokasikan 20 % untuk pendidikan. Sangat
ironis jika daerah yang kaya seperti kaltim belum mampu memberikan porsi 20% untuk
pendidikan dalam APBD. Kemudian muncul petanyaan dari para pendidik dan
masyarakat kemana arah dana perimbangan keuangan? Mengapa /pemkot/pemkab/DPRD
tidak tanggap terhadap masalah pendidikan?
Pasal 31 ayat 5 “Pemerintah memajukan ilmu
pengetahuan dan tehnologi dengan menjunjung tinggi nilai-nilai agama dan
persatuan bangsa untuk memajukan peradapan serta kesejahteraan umat manusia ini
mencerminkan bahwa iptek mendapatkan prioritas dalam pendidikan.” Dalam
penggunaan ilmu pengetahuan dan tehnologi ini hendaknya mendasarkan diri pada
nilai-nilai agama yang transendental dan universal untuk kesejahteraan umat
manusia dan memajukan peradapan serta persatuan bangsa.
BAB III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Salah satu
tujuan dan cita-cita bangsa Indonesia adalah mencerdaskan kehidupan bangsa yang
tertuang dalam Pembukaan UUD 1945 dan Pasal 31 UUD 1945. Berbagai upaya telah
dilakukan untuk mencapai tujuan tersebut, termasuk mengamandemen UUD 1945.
Setiap upaya tersebut dimaksud untuk memajukan pendidikan di Indonesia. Kualitas
pendidikan di Indonesia memang masih sangat rendah bila di bandingkan dengan
kualitas pendidikan di negara-negara lain. Hal-hal yang menjadi penyebab
utamanya yaitu efektifitas, efisiensi, dan standardisasi pendidikan yang masih
kurang dioptimalkan. Adapun solusi yang dapat diberikan dari
permasalahan di atas antara lain dengan mengubah sistem-sistem sosial yang
berkaitan dengan sistem pendidikan, dan meningkatkan kualitas guru serta
prestasi siswa.
Perkembangan
dunia di era globalisasi ini memang banyak menuntut perubahan kesistem
pendidikan nasional yang lebih baik serta mampu bersaing secara sehat dalam
segala bidang. Salah satu cara yang harus di lakukan bangsa Indonesia agar
tidak semakin ketinggalan dengan negara-negara lain adalah dengan meningkatkan
kualitas pendidikannya terlebih dahulu.
Dengan meningkatnya kualitas pendidikan berarti sumber daya manusia yang terlahir akan semakin baik mutunya dan akan mampu membawa bangsa ini bersaing secara sehat dalam segala bidang di dunia internasional.
Dengan meningkatnya kualitas pendidikan berarti sumber daya manusia yang terlahir akan semakin baik mutunya dan akan mampu membawa bangsa ini bersaing secara sehat dalam segala bidang di dunia internasional.
DAFTAR PUSTAKA
Pidarta, Prof. Dr.
Made. 2004. Manajemen Pendidikan
Indonesia. Jakarta: PT Rineka Cipta.
sayapbarat.wordpress.com/2007/08/29/masalah-pendidikan-di-indonesia.
sayapbarat.wordpress.com/2007/08/29/masalah-pendidikan-di-indonesia.
Kansil, Prof. Drs.
C.S.T. Kansil. Pancasila dan
Undang-undang Dasar 1945. Jakarta: PT Anem Kosong Anem
Kansil, Prof. Drs.
C.S.T. Kansil. Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan . Jakarta: Erlangga
http://tyaeducationjournals.blogspot.com/2008/04/efektivitas-dan-efisiensi-anggaran.
http://www.detiknews.com.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar