Kedamaian Menciptakan Keindahan
PENCARI kedamaian, mungkin itu judul yang layak diberikan pada kegiatan sebagian manusia di zaman ini. Terutama setelah mengalami banyak sekali kelelahan. Menjamurnya buku-buku sekaligus latihan meditasi, membengkak pesatnya jumlah manusia yang datang ke tempat ibadah, lahirnya banyak sekali pemikiran new age, munculnya banyak sekali tokoh-tokoh perdamaian di muka bumi, semuanya bermuara pada salah satu ujung perjalanan manusia: kedamaian. Panitia pemberi hadiah Nobel di Oslo bahkan setiap tahun mencari muka-muka baru yang bisa diberi penghargaan karena jasa seseorang dalam meningkatkan perdamaian.
Dengan kata lain, kedamaian rupanya telah menjadi barang yang langka sekaligus amat berguna di zaman ini. Pertanyaannya kemudian, benarkah kedamaian harus dicari? Kalau dicari, di manakah ia bersembunyi? Mungkinkah ia bukan bersembunyi malah disembunyikan? Ah maafkanlah pertanyaan, karena pertanyaan tidak saja membimbing pencaharian, pertanyaan juga kerap terlalu bernafsu untuk segera sampai pada jawaban. Dan nafsu berlebihan akan jawaban-jawaban segera inilah yang kerap menjauhkan manusia dari kedamaian.
Manusia dan ilmu-ilmu manusia memang tidak satu dan seragam. Ia demikian kaya sekaligus plural. Demikian juga dengan ladang-ladang kedamaian. Demikian banyak ladangnya, demikian berlimpah cara yang tersedia. Menyebutkan kalau sebuah cara sebagai cara terbaik, sebuah ladang adalah satu-satunya ladang kedamaian, mudah sekali tergelincir ke dalam kedangkalan sekaligus kesombongan. Untuk itulah layak diendapkan, kalau setiap ulasan tentang kedamaian, hanyalah salah satu saja dari demikian berlimpahnya pilihan ulasan yang tersedia.
Disinari cahaya-cahaya kerendahan hati seperti inilah, ada yang bertanya ulang: betulkah kedamaian harus dicari? Marilah kita mulai dengan keadaan hidup yang diberi judul kedamaian. Sejuk, tenteram, bersahabat, semua tampak baik dan bahkan sempurna, adalah rangkaian keadaan yang muncul di dalam ketika manusia membuka pintu-pintu kedamaian. Keadaan seperti ini, adakah ia sebuah akibat atau juga sebuah sebab? Tidak mudah menjawabnya secara hitam-putih. Secara lebih khusus karena manusia berbeda-beda.
Ada memang kelompok manusia yang menyebut kedamaian sebagai akibat. Sebabnya pun demikian beragam. Dari hal-hal luar seperti rumah, mobil, jabatan, nama baik sampai dengan hal-hal di dalam seperti pengendalian diri, kecintaan akan alam dan kehidupan serta ketekunan berjalan menuju Tuhan. Ada juga kelompok lain yang menyebut kedamaian sebagai sebab. Yang penting, menurut kelompok ini, berucap dan bersikaplah sama dalam setiap keadaan: I can choose peace than the others. Pilih kedamaian, jangan yang lain.
Demikianlah selalu wajah-wajah dinamis ilmu-ilmu manusia. Positifnya selalu memberi pilihan yang kaya. Halangannya atau malah peluangnya, mempersilakan orang untuk menentukan sendiri pendekatan mana yang tepat. Dalam peta perjalanan seperti ini, pencari-pencari kedamaian dipersilakan memilih sesuai dengan kedalaman pemahamannya akan diri.
Mereka yang kedalaman pemahamannya akan diri masih di tingkat kedamaian sebagai akibat, dipersilakan berkonsentrasi pada sebab-sebab yang relevan. Hal-hal luar seperti uang, rumah dan mobil memang bisa membantu sebentar. Demikian juga dengan hal-hal dalam seperti disiplin diri, yang bisa memberi dampak lebih jangka panjang. Cuma, apapun yang berbau akibat, ia akan senantiasa datang dan pergi.
Lain halnya dengan kedamaian sebagai sebab. Karena pilihan sikapnya dalam setiap keadaan tidak mengenal yang lain kecuali kedamaian, maka kedamaian menjadi teman yang relatif lebih abadi. Mantra orang-orang dalam kelompok ini hanya satu: I can choose peace than others. Semenderita apapun, semenggoda apapun pilihan-pilihan lainnya, tetap yang dipilih hanya satu: kedamaian.
Seorang sahabat bergumam: tidak mudah! Ini juga tergantung pada diri kita masing-masing. Terutama seberapa kuat badan dan pikiran mencengkeram perjalanan setiap manusia. Dalam kehidupan yang dicengkeram kuat-kuat oleh badan dan pikiran, memilih kedamaian itu sebuah perjuangan berat – kalau tidak mau dikatakan tidak mungkin. Dalam kehidupan di mana badan dan pikiran hanya kuda atau kendaraan yang terkendali, cerita jadi lain. Untuk itulah, bisa dimaklumi kalau bahasa Tibet dari pencerahan adalah jangchub, yang berarti menginternalisasikan nilai-nilai positif secara total.
Dalam nilai-nilai positif yang telah diinternalisasikan secara total ke dalam, tidak saja badan dan pikiran kemudian jadi kendaraan, pilihan I can choose peace than others menjadi demikian mudah dan mengalir. Dan kedamaian pun menjadi sebuah sebab. ”Apa yang tersisa dalam kehidupan seperti ini?”, demikian seorang sahabat pernah bertanya. Dan banyak guru hanya menjawabnya dengan senyuman dalam-dalam. Seperti sedang mengungkapkan keindahan yang tidak bersebab.
Pengungkapan keindahan manapun melalui kata-kata selalu disertai lawan di belakangnya. Namun senyuman dalam-dalam tanpa kata-kata, ia sedang bertutur tentang keindahan yang tidak memiliki lawan. Seperti pernah dituturkan Dalai Lama dalam The many ways to Nirvana: the highest form of peace is true cessation. Kedamaian tertinggi adalah keadaan berhentinya semua. Termasuk berhentinya kata-kata sebagai wakil keindahan. Bukankah dalam hening dan sepi semuanya serba tanpa lawan, semuanya tidak mengundang perdebatan sekaligus pertanyaan?
Sumber: http://www.sinarharapan.co.id/berita/0410/26/sh05.html
Tidak ada komentar:
Posting Komentar